KISAH DI BALIK KEINDAHAN DAN KEKAYAAN ALAM "PULAU RUN"

 On Selasa, 29 Oktober 2013  

Gulungan debur ombak setinggi kira-kira 3 meter silih berganti menerjang lambung perahu yang kami tumpangi. Perahu kecil kami terombang-ambing dalam perjalanan dari Pulau Run menuju Pulau Nailaka, di Kepulauan Banda. Cemas rasanya menghadapi bahaya yang mengancam. Semua penumpang menjadi terdiam.

kisah di balik keindahan dan kekayaan alam pulau run
KISAH DI BALIK KEINDAHAN DAN KEKAYAAN ALAM "PULAU RUN"


Letak Pulau Run adalah di ujung barat gugus Kepulauan Banda. Sedangkan Pulau Nailaka terletak di sisi timur laut Pulau Run. Walau kedua pulau hanya terpisah laut berjarak kurang dari 1 kilometer, tetapi itu adalah laut yang sangat dalam di Nusantara. Perairan dangkal hanya sekitar 500 sampai 700 meter dari bibir pantai. Setelah itu merupakan palung laut yang sangat dalam.

Di awal Juni lalu, tim Ekspedisi Sabang-Merauke: ”Kota dan Jejak Peradaban” Kompas mengarungi ombak Laut Banda yang sangat ganas. Dalam perahu kayu bermotor dengan panjang 6 meter dan lebar 1,25 meter tersebut, kami bersama seorang pelancong asal New York, dua turis dari Australia, dan ditemani dua wisatawan domestik. Total penumpang ada 10 penumpang, termasuk nakhoda.

Berangkat dari Pulau Neira, ibu kota Kecamatan Banda, Maluku Tengah, laut masih teduh. Tetapi setelah keluar dari perairan yang memisahkan "Pulau Gunung Banda Api" dengan Banda Besar (Lonthoir), hempasan ombak mulai terasa. Laut yang semula berwarna biru jernih pun berubah menghitam, gelap. Semakin siang, ombak semakin tinggi dan ganas. Kami membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam menuju Pulau Run.

Ketika mendekati perairan yang dangkal di Pulau Run, beberapa kapal motor kami lihat tertambat di tepi pulau berbatu yang luasnya hanya 2,6 kilometer persegi tersebut. Sepintas pulau ini sepi dan lengang, hanya terlihat beberapa anak kecil sedang asyik bermain. Tak begitu erlihat aktivitas masyarakat.

Padahal, ketika awal abad ke-16 sampai akhir abad ke-17, pulau ini menjadi rebutan kekuasaan Inggris dan Belanda. Dalam buku Indonesia Banda, Colonialism and Its Aftermath in the Nutmeg Island (1983), Willard A Hanna menyebutkan, Portugis adalah negara pertama yang menguasai Kepulauan Banda, pada 1511. Namun sekitar tahun 1605, Inggris melalui Perusahaan Hindia Timur Britania (East India Company/EIC) berhasil merebut Pulau Run dan Ai, dua pulau kecil di sebelah barat Kepulauan Banda. Run dan Ai pun menjadi daerah pertama dari beberapa jajahan Inggris. Karena itu gelar penuh Raja James I ketika itu adalah Raja Inggris, Skotlandia, Irlandia, Perancis, Puloway (Ai), dan Puloroon (Run).

Pada waktu bersamaan, Belanda lewat di Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) di bawah kendali Laksamana Van der Hagen mulai menerapkan sistem monopoli perdagangan rempah-rempah dengan cara mengusir Portugis dari Kepulauan Banda, kecuali Pulau Run dan Ai. Selama beberapa puluh tahun, Pulau Run yang dikuasai Inggris menjadi duri dalam daging dalam impian Belanda untuk monopoli perdagangan pala.

Menurut salah satu penggiat wisata di daerah Banda yaitu Rizal Bahalwan, pada awal abad ke-17, nilai 1 gram pala lebih mahal di bandingkan 1 gram emas. Karena itu, Pulau Run menjadi pertaruhan terakhir Belanda untuk menguasai penuh perdagangan pala.

Hanya saja, keganasan ombak Laut Banda menjadi penghalang utama Belanda untuk merebut Pulau Run. Dalam beberapa kali kesempatan percobaan serangan, Belanda tak pernah berhasil mendekati pulau tersebut.

Akhirnya tentara VOC di masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada waktu tahun 1621 berhasil mengusir Inggris dari Pulau Run. Serangkaian perjuangan yang sangat mengharukan, sepasukan kecil Inggris berusaha mempertahankan Pulau Run, digambarkan secara dramatis oleh Giles Milton dalam sebuah novel Nathaniel’s Nutmeg: How One Man’s Courage Changed the Course of History (1999).

Armada perang Inggris lainnya tetap berusaha mengganggu kerakusan Belanda. Peristiwa kekuasaan berdarah Pulau Run akhirnya dibawa pemerintah Inggris ke meja perundingan. Pada 1667 dalam Traktat Breada, Belanda mau menukar salah satu wilayah kolonial mereka, yaitu Nieuw Amsterdam di Pulau Manhattan, Amerika Serikat, dengan Pulau Run.

Ironinya, Nieuw Amsterdam yang oleh Duke of York (James II) berhasil diganti namanya menjadi New York, sekarang berkembang menjadi pusat peradaban modern dunia. Pulau Run sekarang justru kian tersingkir, ter-isolasi, dan semakin dilupakan.

kisah di balik keindahan dan kekayaan alam pulau run
KISAH DI BALIK KEINDAHAN DAN KEKAYAAN ALAM "PULAU RUN"


Warga New York, seperti Cybill (55), yang tanpa sengaja satu perahu dengan kami, mengatakan, ”Saya sengaja ke Pulau Run untuk melihat kondisi pulau yang pernah ditukar dengan New York. Membandingkan New York dengan Run sekarang, bagaikan cerita di sebuah dongeng. Tidak masuk akal,” katanya.

Seorang tokoh masyarakat di Pulau Run, Burhan Lohor mengatakan, "kendala utama warga di Pulau Run adalah akses transportasi, komunikasi, dan kebutuhan air bersih. Selain itu, belum ada sekolah setingkat SMU di pulau tersebut".

Pulau Run sekarang dihuni 2.130 jiwa. Setelah peristiwa Bumi-Hangus kebun pala oleh Belanda agar Pulau Run tidak menarik lagi, mata pencarian penduduk pun bergeser. Sekitar 70% warga Pulau Run sekarang menjadi nelayan, sisanya bertani cengkeh dan pala.

Sepuluh tahun terakhir, warga Pulau Run mulai menanam kembali pohon pala. Sekarang, warga mulai menikmati kembali betapa berharganya pala. Mereka dapat menyekolahkan anak mereka keluar pulau, sampai perguruan tinggi.

Uniknya, di ingatan semua anak Pulau Run, ternyata tersemat cerita tentang pertukaran Pulau Run dan New York, menurut Burhan, memang sengaja diceritakan turun-temurun. Sebuah kebanggaan yang semu. 
KISAH DI BALIK KEINDAHAN DAN KEKAYAAN ALAM "PULAU RUN" 4.5 5 Jack Akhmad Selasa, 29 Oktober 2013 Gulungan debur ombak setinggi kira-kira 3 meter silih berganti menerjang lambung perahu yang kami tumpangi. Perahu kecil kami terombang-amb...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar